12 March 2008

Daftar Pemain Asing Bermasalah, Perlukah?

Fernando Martin StagnariMungkin, hanya di Liga Indonesia lah sebuah federasi sepakbola sampai mengurusi patut tidaknya seorang pemain dikontrak oleh klub. Terasa menggelikan memang, tapi itulah kenyataannya seiring dikeluarkannya daftar pemain bermasalah di Divisi Utama Liga Indonesia XIII musim lalu. Di kompetisi Eropa, setiap klub bebas mengontrak pemain dari negara manapun dan divisi apapun, evaluasi terhadap skill pemain menjadi hak setiap klub, yang berlaku kemudian adalah hukum pasar, dimana pemain dengan skill tinggi meskipun berasal dari divisi antah berantah sekalipun pastilah banyak diminati klub besar.

Belum pernah ada ceritanya seorang Wayne Rooney yang terkenal bengal dicekal oleh FA dan tidak direkomendasikan untuk direkrut oleh klub lain. Segarang-garangnya Edgar Davids ataupun Gennaro Gattuso, belum pernah FIGC membuat daftar cekal untuk mereka. Aturannya sudah jelas, setiap pelanggaran oleh pemain atau terekam oleh video bisa membawa pemain tersebut ke komisi disiplin untuk kemudian dijatuhi sangsi beberapa pertandingan dan sejumlah denda.

Kenapa aturan di sana begitu ketat? Karena semua elemen pertandingan bertindak profesional. Dalam hal ini adalah wasit, asisten wasit, pengawas pertandingan, dan komisi wasit. Peraturan sepakbola standar FIFA benar-benar dikuasai dan diterapkan. Efeknya, setiap pemain yang memang telah mengerti aturan sepakbola, mempunyai rasa hormat terhadap wasit dan aturan sepakbola itu sendiri.

Bagaimana di liga sepakbola kita?

Sudahkah wasit bertindak profesional dan obyektif? Sudahkah wasit mengerti aturan sepakbola? Masih sering terjadi wasit tidak mengerti apa itu advantage, apa itu passive atau aktif offside, passive handsball, dan peraturan-peraturan sepakbola modern lainnya. Ujung-ujungnya, pemain (khususnya pemain asing) yang telah terbiasa bermain dengan tingkat disiplin tinggi, menjadi jengah dengan kelakuan wasit kita.

Mengapa Emile Bertrand Mbamba sampai beteriak hingga hampir mencekik asisten wasit? Mbamba, seorang pemain kelas Eropa yang malang melintang di Liga Belanda, Liga Portugal, dan sempat mencicipi Piala UEFA dan Liga Champions tentu tidak akan melakukan hal tersebut apabila tidak ada sebabnya. Pasti, Mbamba melakukan hal itu karena di Eropa sana wasit sangat melindungi pemain dan menjunjung tinggi rules of football. Di sini? Aturan 3 kali pelanggaran dan kartu kuning saja masih kacau. Kesabaran Mbamba sebagai pemain sepakbola profesional tentu ada batasnya ketika dipimpin oleh wasit yang tidak profesional.

Apa salahnya Gustavo Chena, yang berasal dari luar strata kompetisi yang diterapkan oleh PSSI, dijadikan black list? Bukankah meskipun berasal dari luar strata kompetisi, Chena berhasil membawa PSMS Medan menjadi runner-up Liga. Demikian pula dengan Murphy Kumonpley dan James Koko.

Apakah PSSI atau BLI merasa sok jagoan mempunyai kompetisi terpanjang di dunia sehingga membatasi asal pemain asing? Apakah PSSI sudah merasa Liga Indonesia setara J-League, K-League, atau MLS?

Apakah kalau nantinya klub-klub mendatangkan pemain-pemain berkualitas lalu PSSI dan BLI juga profesional dengan tugasnya? Dengan iklim kompetisi seperti saat ini, mendatangkan pemain kelas Eropa sekalipun tidak akan meningkatkan kualitas kompetisi selama PSSI dan BLI masih senang menyimpan penyakit lama, antara lain inkonsistensi, rangkap jabatan yang sarat unsur kepentingan, kualitas SDM persepakbolaan yang masih amburadul, hingga penegakan hukum di sepakbola itu sendiri.

Membuat daftar pemain asing bermasalah bisa jadi bukanlah solusi terbaik dan hanya akan menjadi momentum sesaat. Kualitas kompetisi tidak akan terangkat dengan cara-cara instant seperti ini. Ataukah hal ini hanya untuk mengalihkan kasus Nurdin Halid dan FIFA?

Ibaratnya kita menyewa seorang guru les privat kemudian memecat guru tersebut lantaran kita gagal ujian karena kita malas belajar. Lalu, siapa yang salah dalam hal ini, guru (pemain asing) atau kita (PSSI, BLI, dan seluruh komponen sepakbola nasional)?

Semakin kita menunjuk kesalahan seseorang, maka semakin terbukalah kesalahan kita. Ingat, ketika kita menunjuk, jari telunjuk memang mengarah ke seseorang, namun di saat yang bersamaan tiga jari yang lain (tengah, manis, dan kelingking) menunjuk ke arah diri kita sendiri. Sudahkan PSSI dan BLI mengevaluasi diri untuk kemudian mengeluarkan daftar hitam kepengurusan mereka sendiri?

No comments:

Post a Comment