20 September 2008

Unsur Yang Diabaikan PSSI

Djarum Indonesia Super League atau Liga Super Indonesia (LSI) telah berputar sejak pertengahan Juli 2008, kendati dengan sejumlah ketidaksiapan dan banyak kekurangannya di sana sini. Sebelum LSI resmi dimulai, Badan Liga Indonesia (BLI) telah melakukan proses verifikasi untuk menentukan yang layak tampil dan terpilihlah 18 tim peserta. Ada beberapa tim yang walaupun tidak memiliki stadion yang layak, tapi tetap memiliki lisensi sebagai peserta.

Menjadi aneh sekali ketika sebuah tim tampil di kandangnya, tapi tidak ada pendukungnya. Hal itu sudah terjadi pada PSMS yang bermain di Jakarta, Persita di Bandung, dan Persitara maupun Pelita Jaya di Soreang. Sebuah pertandingan sepakbola resmi tingkat nasional kok tanpa kemeriahan suporter, lucu bukan?

Pada sisi yang lain, suporter fanatik buta yang tak mau menerima kekalahan timnya dengan melakukan anarki pun tetap menjadi masalah klise -seolah- tanpa solusi. Bahkan kini ditambah pula ada suporter yang rasis. Apakah tidak ada pihak yang mampu membuat penonton sepakbola menjadi lebih dewasa dan memiliki kecerdasan emosional?

Melihat tingkah laku suporter yang brutal menyembulkan banyak pertanyaan. Apakah mereka orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan dari orang tua dan para guru? Apakah mereka orang-orang yang memiliki agama? Apakah mereka yakin bahwa hari esok sudah kiamat, karena ketika timnya kalah, seakan habislah sudah harapan, sehingga mending hancurkan saja apa yang ada di depan mata? Atau pertanyaan paling sederhana, apakah mereka tidak tahu jika tim kesayangan mereka pasti rugi jika terjadi kerusuhan? Pasti masih banyak pertanyaan yang menjadi ketidakpahaman kita dan entah pula jawabannya.

Sepertinya suporter merupakan sebuah unsur penting yang tidak menjadi perhatian PSSI. Dalam sejumlah persyaratan untuk calon peserta LSI yang berat-berat itu, BLI sama sekali tidak menyertakan masalah suporter. Padahal suporter adalah sesuatu yang sangat signifikan dalam kelangsungan hidup sebuah tim sepakbola. Jika pertandingan sepakbola tanpa penonton, untuk apa pertandingan mesti diadakan? Tapi jika penonton sering rusuh, siapa yang paling susah?

Idealnya setiap tim peserta LSI mampu memberikan jaminan bahwa suporternya tidak akan pernah anarkis. Hal itu menjadi salah satu syarat penting yang harus dipenuhi. Jika tak sanggup, tentunya harus ada hukuman yang berat dari Komisi Disiplin PSSI. Sepertinya saat ini sudah semakin banyak organisasi suporter di Indonesia. Bahkan ada pula yang telah menjalin silaturahmi. Jika ada hubungan yang baik antara klub dan kelompok suporter, antar organisasi suporter pun ada hubungan baik, mestinya kerusuhan suporter dapat dieliminasi. Yang juga penting, mestinya ada standar pengamanan pertandingan yang dilakukan secara koordinatif antara pihak klub, panitia pelaksana, koordinator suporter, dan aparat keamanan.

Konyolnya, di banyak stadion lebih banyak aparat keamanan yang malah ikut menonton pertandingan dan bukannya menjaga penonton supaya selalu tenang apa pun yang terjadi di atas lapangan. Masalah suporter sepakbola di Indonesia ternyata memang masalah yang begitu kompleks. (aremaisme)

No comments:

Post a Comment