16 March 2008

Suporter, Objek atau Korban Sepakbola?

Aremania Coba bayangkan situasi seperti ini: sebelas pemain yang bermain di lapangan lahir dan dibesarkan dalam radius lingkaran 17 kilometer dari stadion. Mereka ini memenangi setiap piala domestik yang diperebutkan, memenangi piala paling bergengsi — Piala Eropa (Liga Champions). Rata-rata gaji kesebelas pemain itu tidak jauh berbeda dengan pendapatan pendukungnya, dan kehidupan sosial para pemain ini masih berkait bertautan dengan pendukungnya.

Itu bukan mimpi. Hanya sekali tetapi pernah terjadi. Celtic di tahun 1967. Sejarah ini dikenang orang dengan mata menerawang, karena hampir dipastikan tidak akan pernah terulang lagi.

Dikenang dengan mata menerawang karena Celtic di tahun itu seperti memaparkan segala sesuatu yang ideal dalam sepakbola, sekaligus mempertontonkan segala sesuatu yang salah dalam era sepakbola modern ini.

Bukankah klub sepakbola adalah satu lembaga yang didirikan untuk mewadahi sikap — diakui atau tidak — partisan - sektarian. Dan menjadi pendukung klub sepakbola adalah sebuah maklumat pengelompokan sekaligus penyerahan diri identitas partisan-sektarian tersebut.

Celtic 1967 dengan ideal membungkus itu semua. Celtic adalah ekspresi partisan - sektarian separuh warga Glasgow yang beragama Katolik. Pemainnya datang dari lingkungan mereka sendiri, cream de la cream dari bakat yang ada dil ingkungan mereka sendiri. Mereka turun ke lapangan dengan keyakinan mewakili satu identitas lingkungan sosial mereka. Mereka dibayar tetapi bukan pasukan bayaran. Dibayar wajar bukan berlebihan.

Suporter Celtic
Suporter Glasgow Celtic

Para pendukung Celtic bersorak juga dengan keyakinan yang sama. Merekalah pelantun lagu-lagu heroik yang menyemangati wakil mereka di lapangan. Mereka ini bisa melihat diri mereka sendiri di lapangan. Bukankah adalah teman, saudara ataupun tetangga mereka yang berada di lapangan. Mereka datang kelapangan bukan sekadar untuk mencari hiburan tetapi mendorong mewujudkan mimpi bersama.

Tariklah maju ke jaman sekarang. Maka lupakanlah wujud ideal Celtic.

Klub, pemain, dan pendukungnya kini adalah tiga entitas yang sama sekali berbeda. Klub tak lebih sebuah perusahaan bisnis. Komoditinya adalah manipulasi emosi partisan-sektarian (dalam bentuk yang sangat kabur) lewat sebuah permainan yang bernama sepakbola.

Pemain sepakbola adalah dewa-dewa penjualan yang lihai. Boleh datang dari mana saja dengan latar belakang seperti apa saja. Mereka dibayar mahal untuk menjual permainan sepakbola.

Pendukung klub? Apalagi kalau bukan pasar. Mereka ini sebisa mungkin dibuai dengan mimpi dan janji identitas kolektif yang partisan dan sektarian. Layaknya merek pakaian, kalau Anda mengenakan produk pakaian tertentu maka pakaian itu akan memberi satus (sosial) tertentu pula.

Mendukung klub bola juga (lama-lama) seperti itu. Wajar kalau semakin sukses satu klub, semakin besar basis pendukungnya. Semua orang ingin diasosiasikan dengan klub sukses itu. Tetapi berbeda dengan pendukung Celtic 1967, kali ini lebih untuk status bahwa “ini lho, kami masuk dalam kelas orang-orang sukses, kami hebat”, dan seterusnya dan seterusnya.

Dengan struktur hubungan seperti ini jangan heran kalau pendukung klub yang datang ke stadion menonton bola tak lagi menarik urat leher mereka untuk bersorak atau bernyanyi mendukung tim mereka. Memberi semangat pada tim yang mereka dukung.

Mereka membayar mahal menonton ke stadion. Mereka mengenakan atribut klub yang tak kalah mahal harganya. Mereka datang untuk dihibur. Mereka datang ke stadion untuk mengasosiakan diri dengan kesuksesan. Tugas klub dan terutama pemain bola yang telah dibayar mahal untuk mewujudkan hiburan dan kesuksesan itu.

Bukankah pendukung klub adalah pasar ekonomi? Kebangetan kalau pasar itu masih juga harus diminta bersorak sorai memutus urat leher. Mereka sudah membayar untuk membeli produk, tugas klub dan pemain untuk menghadirkan yang mereka jual. Adalah tugas para pemain bola untuk menampilkan permainan yang bagus agar penonton bersorak dan bernyanyi, bukan tugas penonton lagi untuk bersorak dan bernyanyi agar pemain semangat berlari. (*)

*) sumber artikel : detiksport.com, foto : buletin satujiwa dan d.yimg.com

No comments:

Post a Comment